My Home

Kamis, 23 April 2009

Nergaraku Bukan 'GOLPUT' tapi 'INDONESIA'

Setiap orang pernah punya masalah dan merasa kecewa, entah dari diri sendiri atau datang dari orang lain. Lantas tidak serta merta rasa kekecewaan yang dialami, terus mendorong orang lain ikut mendukung dirinya, dengan mengajak orang lain berbuat sesuai kehendak kekecewaan tersebut.

Fenonema golput alias golongan putih sudah lama terdengar bahkan perbincangan golput semakin ramai setiap mendekati pelaksanaan setiap pemilu. Banyak pengamat politik, lembaga survey memprediksi bahwa angka golput cenderung akan meningkat pada pemilu 2009 hal ini bukan tanpa alasan adanya peningkatan angka golput, banyak sebab.

Pertama angka golput meningkat disebabkan masalah teknis, misalnya sosialisasi pelaksanaan pemilu kurang, keterlambatan pengiriman surat suara, atau daftar pemilih tetap tidak sesuai dengan jumlah data base penduduk salah satu wilayah atau karena sebab lain karena orang tidak dapat hadir dalam satu TPS.

Kedua golput dipengaruhi karena kesadaran politik misalnya merasa tidak ada yang cocok untuk dipilih dan dijadikan pemimpin.

Factor lain yang mempengaruhi golput adalah kekecewaan kalau boleh dikatakan beda tipis dengan dendam politik, misalnya merasa kecewa dengan kebijakan jajaran pemerintahan, merasa kecewa dengan partai, merasa kecewa dengan system hukum dan undang-undang yang mengatur pemilu, merasa kecewa dengan para tokoh sehingga terkesan yang maju hanya wajah lama, dan masih banyak sebab lain orang melakukan golput karena kesadaraan politik.

Sejak Indonesia menggelar pemilu dari tahun 1955 hingga pemilihan umum 2004 orang yang tidak menggunakan hak pilihnya (golput) sudah ada. Negara memang tidak mempunyai konsep untuk menata perkembangan golput. Beberapa kelompok yang peduli dengan Negara ini menanyakan pandangan hokum Islam terhadap golput. Atas hal tersebut Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada 23-26 Januari 2009 di Padang Panjang, Sumatera Barat menggelar sidang Ijtima' membahas masalah golput yang diikuti oleh seluruh Ulama se-Indonesia. Keputusan dari hasil sidang tersebut MUI menyepakati bahwa diantaranya Umat Islam dianjurkan untuk memilih pemimpin dan wakil-wakilnya yang mengemban tugas amar ma'ruf nahi munkar, serta memilih pemimpin yang mempunyai sifat takwa, dipercaya, aktif serta aspiratif, mempunyai kemampuan dan memperjuangkan umatnya, memilih pemimpin wajib hukumnya.

Spontan keputusan fatwa MUI yang mewajibkan seseorang memilih menuai kontroversi, hingga berminggu-minggu kontroversi keputusan MUI tentang fatwa golput menghiasi media cetak dan elektronik. Pandangan MUI tentang golput sudah sangat jauh kedepan. Memang benar tidak ada Negara yang kuat kalau tingkat kepedulian masyarakat untuk memilih pemimpin sangat rendah. Belum adanya cerita dimana golput menghasilkan pemimpin nasional, dan belum terdengar juga golput mampu melahirkan negara maju sekelas Amerika, Jerman, Jepang dll. Negara dengan ekonomi kuat juga tidak lahir dari golput, tapi lahir karena semua komponen bangsa peduli dengan kelangsungan negaranya.

Saat kawan berucap tidak akan memilih dalam pemilu mendatang, kita merasa sedih, geram, jengkel, serta bingung dengan hal tersebut. Mengapa begitu sempit cara pandangnya, mencari nafkah, tempat tinggal, mengurus keluarga dan anak, semua dijalankan disini, di negeri tercinta ini, di bumi pertiwi. Sementara untuk memberikan haknya terlalu pelit. Ini adalah munafik, apakah ini yang disebut negarawan, atau bagaimana kelak kalau kawan menjadi pemimpin negeri, sungguh tidak dapat dibayangkan mungkin negeri ini tidak akan sampai lama berdiri dengan nama Indonesia, namun berentakan menjadi golput-golput yang mengumpal disetiap pulau. Wallahualam.

Tidak ada komentar: